Cerita Anak

Wednesday, February 28, 2007

Surat Misterius

Enak ya cokelatnya? Tapi lebih enak lagi kalau kamu membelinya. Bukan mengambilnya dari Toko Tujuh milik Pak Rahman.

Dodi semakin terkejut. Ini adalah surat kelima yang ditemuinya di dalam tas sekolahnya. Seperti keempat surat sebelumnya, surat ini berisi perbuatan nakal yang dilakukannya. Tadi siang, dia mengendap-endap masuk toko Pak Rahman dan mencuri sebatang cokelat kesukaannya. Iseng betul sih si penulis surat misterius ini. Misterius? Ya, karena tidak ada nama si penulis di surat tersebut. “Tapi kok dia bisa tahu apa yang kulakukan ya?”, pikir Dodi.

Dibacanya lagi kelanjutan surat itu, “Ingat. Ini peringatan terakhir. Aku tahu setelah ini kamu mau mencuri mangga Pak Ikhsan kan. Tapi kali ini, kamu akan merasakan akibatnya”. Dia teringat isi surat keempat yang berisi ancaman juga: “Kalau naik buskota bayar dong, jangan maunya gratisan terus. Awas kalau kamu berbuat tidak jujur sekali lagi.” Dodi mengerutkan dahi. Meskipun dia heran karena si penulis surat mengetahui akal bulusnya mengelabui kondektur buskota, dia tidak takut dengan ancaman itu. Toh tidak ada apapun yang terjadi setelah dia mencuri cokelat tadi siang. “Apanya yang awas”, pikir Dodi.

Pertama kali dia memperoleh surat misterius adalah ketika dia mengambil sepeda Anto tanpa memberitahu teman sekelasnya itu, kemudian meninggalkannya di lapangan dalam keadaan rusak karena menabrak pagar. Kemudian menyusul surat kedua yang ditemukannya di dalam tas sekolahnya sehari setelah dia mengambil dompet Ayu di kelas saat istirahat. Semua surat tersebut menunjukkan bahwa si penulis mengetahui segala gerak-geriknya, termasuk surat ketiga yang diperolehnya setelah dia memecahkan lampu lalu lintas di perempatan dekat rumahnya dengan katapel.

“Kalau begitu, si penulis surat itu pastilah orang yang aku kenal”, pikir Dodi. Dia mencoba mengingat-ingat kepada siapa dia menceritakan semua kenakalannya selama ini. Tidak mungkin si Iwan atau si Roni. Mereka bertiga adalah kawan akrab sejak kecil, dan sama-sama suka menjahili orang lain. Kalau mereka yang menulis surat itu, mereka sendiri juga akan ketakutan kalau ketahuan semua perbuatan mereka dan menerima surat yang sama. Kemarin dia menyelidiki semua orang yang menurutnya tahu perbuatannya, dan sepertinya tidak ada yang patut dicurigainya menulis surat-surat tersebut. Surat tersebut ditulis menggunakan mesin ketik, sehingga dia tidak dapat mengenali siapa penulisnya. “Jangan-jangan Ibu yang membuat surat itu?”, pikir Dodi. Tapi ibunya yang sangat sabar itu pasti akan menasehatinya dengan halus, bukan dengan cara seperti ini. Atau Budi, kakaknya? Ah, dia kan sibuk dengan kelompok ilmiahnya di sekolah.

Dibacanya lagi surat tersebut. Dia tidak takut dengan ancaman yang tertulis di dalam surat itu. “Jadi, malam ini akan kubuktikan bahwa surat ini tidak ada artinya bagiku”, kata Dodi pada dirinya sendiri. Malam ini dia berniat untuk mencuri mangga di rumah Pak Ikhsan. Dia merasa tertantang.

Malamnya, dengan mengendap-endap, Dodi memanjat pohon mangga setelah Pak Ikhsan menutup jendela rumahnya. Dilihatnya banyak mangga yang matang tergantung di dahan bagian atas. Dengan sigap dia memanjat pohon itu hingga mencapai dahan paling atas. Ditariknya buah mangga ranum yang tergantung di ranting dekat tangannya. “Hmmmm, harum”, bisiknya puas sambil membaui mangga tersebut dan memasukkannya ke sebalik kaosnya. Beberapa mangga berhasil diambilnya dan baju kaosnya semakin mengelembung.

Tiba-tiba terdengar dengus dari bawah. Dilihatnya seekor anjing hitam menengok ke atas sambil menggeram. Ke arahnya!! Dodi panik, tetapi dia tidak berani turun karena takut dikejar oleh anjing itu. Anjing itu terus menatapnya, tetapi tidak menyalak sama sekali, hanya menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Dodi berusaha untuk diam agar anjing tersebut tidak melihatnya dan segera pergi. Tetapi anjing itu malah merunduk kemudian berbaring tepat di bawah pohon mangga yang dipanjatnya. Pelan-pelan Dodi berusaha berpindah dari satu dahan ke dahan lain tetapi tidak ada jalan untuk turun tanpa melewati anjing itu. Dilemparnya anjing itu dengan mangga yang dipetiknya, tetapi anjing itu hanya mendengus pelan, tidak beranjak sama sekali. Dodi kemudian hanya bisa duduk di atas dahan menunggu anjing itu pergi.

Menit berganti menit, beberapa jam telah berlalu, tetapi anjing itu masih duduk terjaga. Hawa dingin menusuk kulitnya membuatnya menggigil. Tangannya mulai lelah berpegangan pada batang pohon yang besar. Dodi mulai terisak menangis, dia takut ayahnya akan memarahinya jika dia tidak segera pulang. Tetapi dia terlalu takut untuk turun melewati anjing bergigi tajam itu. Dia menyesal mengapa masih berani mencuri mangga Pak Ikhsan meskipun sudah diperingatkan oleh surat itu. Dia juga menyesali kenakalan yang diperbuatnya selama ini. “Andai saja aku tidak suka berbuat nakal”, pikirnya.

Tangisannya makin lama makin keras. Tiba-tiba pintu rumah Pak Ikhsan terbuka, dan terdengar siulan ringan. Anjing itu berdiri lalu pergi. Dodi turun dengan pelan, tetapi kakinya terlalu lemah untuk berdiri ketika sampai ke tanah. Dia terduduk ketika dilihatnya tiga orang mendekat: Pak Ikhsan, Kak Budi, dan ayahnya! Dodi merasa lemas melihatnya. Dia hanya bisa menebak-nebak siapakah si penulis surat itu dan menebak-nebak pula hukuman apa yang bakal diterimanya dari ayahnya.

Wednesday, November 29, 2006

Kena Batunya

Teng-teng-teng.
“Horeee.......”, teriak anak-anak demi mendengar bel tanda sekolah usai yang dipukul oleh Pak Bon yang bertugas di SD Utama Malang.
“Nah, anak-anak, jangan lupa besok kalian harus membawa PR matematika yang telah diberikan kemarin”, kata Pak Agung, guru kelas IV di SD tersebut.
“Mereka yang tidak mengerjakannya akan Bapak beri hukuman menyapu lantai”.
“Ya, Paaaak”, teriak anak-anak dengan serempak.

Dua anak bersungut-sungut sambil keluar ruangan kelas.
“Semua ini gara-gara Pak Haryo”, kata Bedu.
“Kalau Pak Haryo tidak pensiun minggu lalu, Pak Agung tidak akan menggantikannya mengajar kita”, terusnya.
“Dan kita tidak akan sering mendapat PR”, sahut Dodit.
“Mentang-mentang baru lulus dari IKIP, seenaknya saja menyuruh kita mengerjakan PR matematika yang sulit seperti ini”.
“Ya begitulah guru baru yang berlagak, Agung Prasetyo W.”, sahut Bedu lagi tak mau kalah.
“Tapi tenang saja Dit, kita jalankan rencana kita seperti biasanya. Siapa ya korban berikutnya?”
Belum sempat Dodit menjawabnya, terdengar langkah kecil mendekati mereka.
“Hai Bedu, hai Dodit, apa kabarnya. Eh, sori ya, aku terburu-buru nih, harus segera pulang ke rumah”.
Bedu dan Dodit berpandangan penuh keheranan.
“Tidak biasanya tuh si Azhar menyapa kita”, bisik Dodit.
“Iya, biasanya dia malah selalu menghindar kalau kita dekati”, kata Bedu dengan berbisik juga. Sejurus kemudian mereka berdua bertatapan mata dan tersenyum. Dodit mengangguk melihat pandangan mata Bedu yang meminta persetujuan.
“Eh Azhar, jangan pergi dulu. Ke sini sebentar deh, kita kan sedang ada perlu sama kamu”, kata Bedu.
“Iya kan Dit?”.
“Iya”, kata Dodit sambil memegang tangan Azhar.
“Kita mau minta tolong seperti biasanya deh, untuk besok pagi”.
Azhar menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya.
“Maksudmu PR matematika besok?”, tanya Azhar.
“Iya, seperti biasanya, kamu kerjakan PR tersebut. Lalu setelah selesai, kami akan mencontohnya”, kata Bedu.

Melihat gelagat si Azhar yang ragu-ragu, si Dodit dengan cepat memegang kerah Azhar dan memelototkan matanya.
“Awas, jangan coba-coba menolak ya. Sudah lama kamu tidak mengerjakan PR untuk kami. Jadi sekarang giliranmu”.
“Tapi..... tapi, soal matematikanya kan sulit, aku juga tidak dapat mengerjakannya”, kata Azhar agak gemetaran.
“Tidak dapat mengerjakan?”, kata Bedu.
“Iya betul, kan soalnya kan sulit” kata Azhar.
“Tidak mungkin”, bentak Bedu.
“PR matematika kali ini memang sulit sekali” ucap Azhar.
“Pokoknya kamu kerjakan dengan betul siang ini, malam nanti kami ke rumahmu untuk menyalinnya”, ancam Dodit.

Azhar berpikir sejenak, kemudian katanya “Ah, aku punya ide. Bagaimana kalau kita minta bantuan seseorang. Kebetulan Omku yang dari Jogja sedang ada di sini, jadi kita bisa minta tolong dia untuk mengerjakan PR itu”.
Bedu dan Dodit berpandangan, mereka ganti ragu-ragu.
“Tenang deh, aku jamin Om Wid pasti dapat mengerjakan soal matematika sesulit apapun. Dia kan kuliahnya di universitas ternama di Jogja” kata Azhar menenangkan mereka.
Bedu dan Dodit berkata bersamaan, “OK, kami akan ke rumahmu jam 7 malam nanti”.
“Siiip, aku pulang dulu ya”, kata Azhar sambil berlari meninggalkan mereka sambil tertawa-tawa.

Malamnya, hampir pukul tujuh, Bedu dan Dodit bersepeda berboncengan sambil membawa tas mereka. Sampai di rumah Azhar, sebelum Dodit mengetuk pintu, Azhar sudah keluar rumah sambil berkata.
“Ayo langsung masuk saja, Om Wid masih mandi, tapi sebentar lagi juga selesai”.
Dodit dan Bedu tampak bingung. Kedua anak ini memang terkenal sebagai anak termalas di kelas IV SD Utama. Mereka tidak pernah mau belajar dengan sungguh-sungguh. Jika ada PR, mereka memaksa murid-murid lain untuk mengerjakannya dan kemudian mereka tinggal mencontohnya. Sudah beberapa kali mereka memaksa Azhar untuk mengerjakan PR mereka, namun baru kali ini Azhar tampak bersemangat.

Mereka bertiga lalu masuk ke ruang tengah, menaruh buku di atas meja, dan duduk di atas kursi sambil berbisik-bisik.
“Betul nih, Ommu itu dapat mengerjakan PR matematika yang sulit itu”, tanya Dodit.
Azhar dengan tegas menjawab, “Pasti deh, PR yang paling sulitpun Om Wid dapat mengerjakannya. Dia kan jago matematika.”
“Soalnya, kalau kita tidak dapat mengerjakannya, besok pasti kita akan mendapat hukuman dari Pak Agung”, kata Bedu yang menjadi tenang setelah mendengar jawaban Azhar.

Seseorang masuk ke dalam ruang tengah.
“Perkenalkan, ini Om Wid, ahli matematika dari Jogja”, kata Azhar mengiringi kedatangan orang itu.
“Hai, apa kabar Dodit dan Bedu”, sapa orang itu.
Merasa tidak asing dengan suara tersebut, Bedu dan Dodit terkejut mendengarnya. Terlebih ketika mereka melihat wajah orang itu di bawah sinar lampu ruang tengah.
“Pak....... Pak Agung”, kata mereka lirih, hampir tidak terdengar.
“Iya, perkenalkan namaku adalah Agung Prasetyo Widodo. Baru saja lulus dari pendidikan Matematika di Jogja”.
“Lho, jadi kepanjangan dari W itu adalah Widodo”, pikir mereka tak percaya.
“Bapak dengar dari Azhar, keponakan saya, kalian memintanya untuk mengerjakan PR yang Bapak berikan kemarin ya”. Dodit dan Bedu tidak menjawabnya, mulut mereka terasa terkunci.
“Bapak dengar juga dari teman-teman kalian, kalian suka memaksa mereka untuk mengerjakan PR lalu kalian mencontohnya, betulkah begitu?”, tanya Pak Agung berwibawa.
“Bet...betul Pak”, kata Bedu dan Dodit, tak mampu mereka berbohong dan menyangkal pertanyaan guru mereka.
“Apakah kalian tidak tahu bahwa perbuatan itu tidak baik. Tujuan Bapak memberi kalian PR adalah agar kalian dapat berlatih mengerjakan soal dengan baik. Dengan demikian kalian akan dapat dengan mudah memahami materi pelajaran yang Bapak sampaikan”. Pak Agung menatap kedua anak yang dengan takutnya menundukkan kepala. Takut bercampur dengan malu.
“PR yang Bapak berikan bukanlah soal yang tidak mungkin kalian kerjakan. Sebagai seorang guru, Bapak selalu memberikan beban yang sesuai dengan kemampuan kalian. Andaikata kalian mau berusaha, tentu kalian dapat mengerjakannya sendiri. Azhar pun mampu mengerjakannya. Dia hanya Bapak suruh untuk mendekati kalian dan berpura-pura tidak dapat mengerjakannya”.

Bedu dan Dodit saling berpandangan. “Jadi, Azhar.....”.
“Betul, Azhar hanya bersandiwara agar kalian terpancing kemari”.
“Pantas saja. Tadi siang Azhar mendekati kami. Itu kan aneh sekali. Biasanya kalau ada PR, murid-murid lain selalu menghindar”, seru Bedu pada Dodit.
Pak Agung tertawa dan berkata “Kalian jangan menyalahkan Azhar. Dia bahkan telah berjasa membawa kalian kemari sehingga Bapak dapat menasehati kalian. Yang Bapak harapkan adalah kalian berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan kalian tersebut. Mau kan, Dodit, Bedu?”
“Mau Pak”, jawab Dodit dan Bedu serentak dan tegas.
”Kami berjanji untuk tidak memaksa murid lain untuk mengerjakan PR kami. Kami berjanji tidak akan mencontek PR lagi. Dan kami berjanji akan rajin belajar dan mengerjakan PR sendiri”.

“Sebetulnya kalian boleh saja bertanya kepada orang lain jika kalian kesulitan dalam mengerjakan PR. Namun itu hanya dilakukan setelah kalian berusaha dengan sungguh-sungguh, dan bertanyapun hanya sekadarnya, tidak semuanya. Bapak yakin kalian akan berhasil memperoleh prestasi apabila kalian bersungguh-sungguh dan berusaha keras, tidak berbuat curang, serta jangan lupa berdoa”.
“Ya Pak”.
“Baiklah, sekarang kalian bertiga bersama-sama mengerjakan PR kalian. Ingat, hukuman menyapu lantai kelas bagi yang tidak mengerjakan PR”.
“Siap Pak......ha..ha..ha”

Pecah tawa berderai dari ketiga anak itu. Pak Agung tersenyum dan merasa puas, dia telah berhasil mengubah tabiat anak-anak itu kali ini. Apakah mereka sadar untuk seterusnya? Semoga.

---
Dimuat di Rubrik Anak, Radar Jogja,Minggu 24 Februari 2002

Tuesday, November 28, 2006

Sahabat Sejati

“Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.
“Begini, aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada Amanda.
Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak, ee..., maksudku, aku suka sepatu itu.”
“Lantas mengapa sepatu ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”, tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti, dia ragu-ragu untuk meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.
Nisa teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di dapur.

“Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat ini dong Bu, bagus sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, menunjukkan sepatu baru yang sedang dipakainya.
Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”
“Ah Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kamu sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari Amanda. Dia yang memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.
“Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu baru minggu lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda memberikannya untukku”.
“Wah beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.

Benar. Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti perkiraan ibunya tadi.
“Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah menerima pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada kita”
“Tapi Pak, Amanda memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri.
“Betul. Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.
“Mereka tidak mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.
“Tapi Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa menyerah.

Amanda memandang wajah Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja, tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.
“Tidak bisa. Aku sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi, kamu boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu.

Keesokan harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi. Beliau terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”
Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.
Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya, seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah. Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.

“Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”.
“Ah tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami mampu membalasnya”, kata ayah Nisa.
“Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya selama ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering membantu Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah Amanda sambil tersenyum.
“Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua orang tua mereka.
“Kalau begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya.
“Horeeeeeeeeee”, teriak Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu.
---
tanggal 16 April 2003
di Rubrik Kawanku Ka-eR Kecil Surat Kabar Kedaulatan Rakyat